II. PEMBAHASAN
A. Al-Quran
1. Pengertian
Quran” menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr.
Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk
masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca). Di dalam Al Qur’an
sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam
ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah
Artinya: Sesungguhnya
mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikut bacaannya”.
Kemudian
dipakai kata “Qur’an” itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini. Al-Quran
adalah Sumber agama ( juga ajaran) Islam pertama dan utama.[1]Adapun
definisi Al Qur’an ialah: “Kalam Allah s.w.t. yang
merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir
serta membacanya adalah ibadah”.[2]
2. Siapa
Penulis
Proses
penulisan Al-Qur’an terdiri dari beberapa tahapan atau masa. Yaitu pada masa
Nabi Muhammad SAW, masa khulafa’ur rasyidin, dan pada masa setelah khulafa’ur
rasyidin[3].
a.
Pada Masa
Nabi Muhammad SAW
Kedatangan
wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga
kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja
diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh
karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara
:
Pertama, al Jam’u fis Sudur. Rasulullah amat menyukai wahyu, ia
senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan
memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat
17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S.
Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab
itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai
ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabat langsung menghafalnya diluar
kepala.
Kedua, al Jam’u fis Suthur. Selain di hafal, Rasulullah juga
mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti
Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau
memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam
surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan
Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan
alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang
dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut,
para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
b.
Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin
1)
Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq
Sepeningal
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran
yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Quran yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Usaha
pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad
dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70
orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an
karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar
bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an
dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada
awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin
Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya.
Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan
akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti
Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alasan
yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.
2)
Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan.
Pada masa
pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah
arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja
(’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu
dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka
bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh
salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang
bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif
‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat
beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca
Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling
menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘ Utsman
bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang
memenuhi persyaratan berikut:
- Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis
berdasarkan riwayat ahad,
- Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat
tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi Muhmmad SAW pada
saat-saat terakhir,
- Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal
sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya
berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
- Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu
mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an
ketika turun,
- Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an
dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam
penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak
memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu
qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka
merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini
telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu
pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
c.
Pada Masa
Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa
ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang
ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak
orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak
berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka
saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya
penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).
3. Kapan
dan dimana diterima
Al
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari
atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Al-Quran tidak
disusun secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di gua Hira’ pada malam
17 Ramadan tahun pertama sebelum Hijriah atau pada malam Nuzulul Quran ketika
nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat al-‘alaq (96):
1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di
padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah
tahun 10 Hijrah, kini terletak di surat al-maidah (5): 3.[4]
4. Bagaimana
Al-Quran itu diterima
Nabi
Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan
keadaan. di antaranya[5]:
- Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya.
Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau
merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi
mengatakan: “Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku”,
- Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi
berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga
beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
- Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya
loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang
pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim
dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk
karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang
mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: “Aku adalah penulis
wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika
turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan
keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya
wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
- Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak
berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti
rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm
ayat 13 dan 14. Artinya: Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali
yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.
5.
Kepada Siapa Al-Quran
itu ditujukan
Al-Quran
ditujukkan kepada manusia seluruhnya, maka hikmah Allah SWT berkehendak untuk
menjadikan redaksi kitab-Nya merangkum dan menyentuh mereka semua, dan
menyiapkan penjelasan dan petunjuk yang dapat menuntun mereka menuju kebenaran,
namun setelah mereka mengkaji dan berusaha keras, sehingga mereka meningkat
kemanusiaannya di dunia, dan mendapatkan balasan dan pahala di akhirat.[6]
6. Fungsi
Al-Quran
Segala
sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT pasti ada manfaat dan gunanya. Di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang
menjelaskan tentang fungsi Al-Quran di antaranya sbb.[7]
a. Petunjuk
Bagi Manusia
Dapat
mengantarkan ke arah tujuan yaitu arah kebenaran dan kebahagiaan, mempunyai
keyakinan yang kuat terhadap Allah SWT bahwa Allah SWT maha pemberi petunjuk,
dapat bersikap atau berakhlakul karimah, dan rasa kasih sayang antarsesama.
b. Sumber
Pokok Ajaran Islam
Adapun
pokok-pokok ajaran yang ada dalam Al-Quran sebagai berikut.
-
Akidah (keimanan) yaitu
keyakinan bahwa Allah adalah Maha Segala-galanya, baik sifat atau zatnya.
Keimanan memiliki enam cakupan yaitu Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab rasul,
hari akhir, Qada dan Qadar.
-
Ibadah yaitu
sebagaimana penghambaan diri terhadap Allah SWT dengan cara melaksanakan segala
yang dipertintahkannya dan menjauhi segala larangannya baik berupa perkataan,
maupun perbuatan.
-
Akhlak yaitu budi
pekerti yang baik, yang menciptakan hubungan baik antarpribadi dengan pribadi
dan antarmasyarakat dengan sesamanya.
-
Hukum yaitu
ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT hubungan
manusia dengan manusia, atau hubungan manusia dengan alam.
c. Pengajaran
bagi Manusia
Maksudnya
menjadi pengajaran sehingga manusia mengetahui jalan yang hak dan yang batil,
antara yang benar dan yang sesat dan lain sebagainya.
B. HADIS
1. Pengertian
Kata
hadis adalah kata yang berasal dari bahasa arab; yaitu al-hadis dan memiliki
banyak arti diantaranya, adalah yang baru, yang lama dan kabar atau berita.[8] Menurut
para ahli, hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan, perbuatan,
takrir (ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah (perjalanan
hidup) Nabi Muhammad Saw. baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun
tidak. Adapun menurut istilah, hadis adalah ucapan, perbuatan, atau takrir
rasulullah saw. yang diikuti oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.[9] Sunnah meliputi perkataan, perbuatan dan
sikap diam rasulullah tanda setuju, sedang hadis hanya mengenai perkataan
beliau saja. Apa yang telah disebut dalam Al-Quran, dijelaskan atau dirinci
lebih lanjut oleh Rasulullah dengan sunnah beliau. Karena itu sunnah Rasul yang
kini terdapat dalam al-Hadis merupakan penafsiran serta penjelasan otentik
al-Quran. [10]
2. Sejarah
Periwayatan Hadis
Pada
zaman Nabi, periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan daripada
secara tertulis. Hal itu memang logis karena apa yang disebut hadis Nabi tidak
selalu terjadi di hadapan sahabat Nabi yang pandai menulis. Di Samping itu,
jumlah sahabat Nabi yang pandai menulis relatif tidak banyak.
Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk
pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab (w. 23 H = 644 M). Ide itu tidak dilaksanakan oleh ‘Umar karena ‘Umar merasa khawatir, umat
Islam terganggu perhatian mereka dalam mempelajari Alquran. Kebijaksanaan ‘Umar itu dapat dimengerti karena pada zaman ‘Umar,
daerah Islam telah makin luas; dan hal itu membawa akibat,
jumlah orang yang baru memeluk Islam
makin bertambah banyak.
Kepala negara
yang secara resmi memerintahkan
penghimpunan
hadis Nabi ialah Khalifàh ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz (w. 101 H=720
M). Perintah itu antara lain ditujukan kepada Abu Bakr bin
Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (w. 117 H = 735 M), gubernur
Madinah, dan Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zubri (w. 124
H = 742 M), seorang ulama besar di Hijaz dan Syam.
hadis Nabi ialah Khalifàh ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz (w. 101 H=720
M). Perintah itu antara lain ditujukan kepada Abu Bakr bin
Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (w. 117 H = 735 M), gubernur
Madinah, dan Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zubri (w. 124
H = 742 M), seorang ulama besar di Hijaz dan Syam.
Sebelum Khalifh ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz
mengeluarkan surat perintahnya itu, telah cukup banyak orang yang
mencatat hadis, namun mereka melakukan hal itu bukan atas perintah resmi kepala
negara. Di samping itu, berbagai hadis
Nabi yang “tersebar” dalam
masyarakat belum seluruhnya terhimpun
secara tertulis. Para periwayat
hadis ketika itu masih lebih banyak yang mengandalkan hafalan daripada
tulisan. Hal itu dapat dimengerti
karena pada masa itu, hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan; dan orang-orang Arab
terkenal memiliki kemampuan hafalan
yang tinggi. Selain itu, para penghafal masih banyak yang berpendapat bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan.
Dengan
melalui proses dan waktu yang cukup panjang, di antaranya
karena hadis Nabi telah tersebar di berbagai wilayah Islam, akhirnya seluruh hadis Nabi berhasil dihimpunkan dalam kitab-kitab
hadis. Ulama yang menyusun kitab-kitab hadis cukup banyak dan metode yang mereka gunakan cukup beragam.
Yang
terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu tidak hanya
materi (matan) hadisnya saja, tetapi juga rangkaian para periwayat yang
menyampaikan para penghimpun hadis kepada materi hadis, yang disebut sebagai
sanad hadis. Dengan demikian, hadis
yang terhimpun dapat dikaji materinya
dan rangkaian para periwayatnya.
Suatu
“musibah” besar telah terjadi dalam sejarah hadis. Sebelum Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz mengeluarkan perintah
penghimpunan hadis, telah terjadi berbagai pemalsuan hadis. Latar belakang
orang-orang memalsukan hadis Nabi bermacam-macam, di antaranya ialah untuk kepentingan-kepentingan : (1) politik;
(2) ekonomi; (3) golongan (mazhab fiqh ataupun teologi); (4) mencari muka
kepada penguasa; (5) hidup kezuhudan; dan (7) daya tarik dalam
berdakwah. Orang-orang yang memusuhi Islam juga banyak yang membuat hadis palsu dengan tujuan
untuk merusak Islam dari dalam. Dengan demikian, isi hadis palsu tidaklah selalu buruk, tetapi
banyak juga yang sejalan dengan ajaran Islam.
Dalam sejarah
periwayatan hadis, yang aktif menyebarkan hadis tidak hanya orang-orang yang ahli dan berpribadi jujur saja, tetapi juga
orang-orang yang tidak ahli dan
atau tidak jujur dalam
menyampaikan hadis.
Untuk “menyelamatkan” hadis Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan itu, ulama bekerja keras mengembangkan berbagai pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, dan membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis.
Untuk “menyelamatkan” hadis Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan itu, ulama bekerja keras mengembangkan berbagai pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, dan membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis.
Dengan
berbagai “ilmu alat” dan metode penelitian kritik sanad dan matan hadis yang diciptakan oleh ulama tersebut, maka
dapat diketahui berbagai hadis yang berstatus mutawatir
dan yang ahad. Di
samping itu, dapat diketahui
juga hadis ahad yang berkualitas sahih dan yang berkualitas tidak sahih, serta pernyataan-pernyataan yang dikategorikan sebagai hadis palsu.
H.A.R. Gibb
(w. 1970 M), seorang orientalis kenamaan, mengakui bahwa dengan kritik sanad
yang diciptakan oleh
ulama hadis, maka pemalsu hadis sangat sulit membuat sanad hadis yang dapat dipercaya oleh ulama ahli kritik hadis. Pada umumnya,
para ahli kritik sanad tersebut adalah orang-orang yang jujur dan saleh. Kata Gibb lagi, sejumlah peneliti dari
Barat menyangka bahwa peneitian hadis
dilakukan hanya dari segi
sanadnya saja, padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Maksudnya, penelitian hadis tidak hanya dari segi sanadnya saja, tetapi juga dari segi matannya. Pernyataan Gibb itu sangat beralasan karena dalam praktek penelitian
hadis, ulama tidak hanya meneiti sanad hadis saja, tetapi
juga meneiti matannya. [11]
Dua
abad sepeninggal Rasulullah, banyak hadis berseliweran dihafal, diajarkan, dan
disampaikan dalam ceramah-ceramah. Untuk menjaga kermunian sabda Rasul itu,
para ulama mengumpulkan hadis, sekaligus menyaringnya agar tidak tercampur
dengan hadis-hadis palsu. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis itu adalah:
-
Imam Bukhari mengumpulkan
1 juta hadis. Tetapi, hanya 9.082 hadis yang lolos seleksi, sisanya dianggap
tidak sahih.
-
Imam Muslim berhasil
mengumpulkan setengah juta hadis. Tetapi, hanya 3.033 hadis yang lolos seleksi.
-
Abu Daud juga berhasil
mengumpulkan 500.000 hadis. Tetapi, hanya 4.800 hadis yang dinyatakan sahih.
-
Ahmad bin Hambal
mengumpulkan dan menulis 30.000 hadis.
-
Ibnu Majah mengumpulkan
1.339 hadis
-
Suyuti mengumpulkan
10.010 hadis.
3. Fungsi
hadis
Al-Quran
menekankan bahwa Rasul saw. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentu dan sifat serta fungsinya.[12]
Fungsi
hadis dapat dikelompokkan sebagai berikut.[13]
-
Menjelaskan ayat-ayat
Al-Quran yang bersifat umum.
-
Memperkuat pernyataan
yang ada dalam Al-Quran
-
Menerangkan maksud dan
tujuan ayat.
III.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril untuk pedoman hidup manusia dan juga
sebagai mukzijatnya serta sebagai bukti keRasulannya. Sedangkan Hadis merupakan
penafsiran otentik tentang Al-Quran. Dan sejarah pengumpulan dan penulisan
Al-Qur’an dan Hadis seperti yang kita
baca saat ini merupakan atas kehendak para sahabat nabi.
B.
Saran
Untuk
lebih jelas pemahaman tentang Al-Quran dan Hadis maka pembaca tidak hanya
terfokus dalam makalah kelompok, tetapi perlulah untuk meneliti buku-buku yang
lain yang berkaitan dengan Materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Mohammad Daud, 2008, Pendidikan Agama Islam, RGP: Jakarta
Ilmy
Bachrul, 2008, Pendidikan Agama Islam, Grafindo
Media Pratama:Jakarta
Muhammad
Alif, 2008, Quran Hadist, Grafindo
Media Pratama:Jakarta
Sa’dullah,
1996, Hadis-hadis sekte, Pustaka belajar:Yogyakarta
Syuhudi,
1995, Hadits Nabi menurut pembela
pengingkar dan pemalsunya, GIP:Jakarta
Shihab
Quraish, 2007, “Membumikan
Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan Pustaka:Bandung
Yayasan
Penterjemah/Penafsir Al-Quran, 1971, Al-Quran
dan terjemahannya, Jakarta
Yusuf
Qaradawi, 1999, Berinteraksi dan Al-Quran,
Gema Insani Press: Jakarta
[1] Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: RGP, 2008) hal. 93
[2] Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-Quran (Jakarta:1971) h.15
[3] Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-Quran, (Jakarta: 1971) h. 18
[4] Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: RGP, 2008) h. 94
[5] Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-Quran, (Jakarta: 1971) h. 16
[6] Qaradawi, Berinteraksi dan
Al-Quran (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999) h. 1390
[7] Alif Muhammad, Quran Hadist, (Jakarta:
Grafindo Media Pratama, 2008) h. 3
[8] Sa’dullah, Hadis-hadis sekte,(Yogyakarta:
Pustaka belajar, 1996) h.1
[9] Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama
Islam (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2008 ) h.60
[10] Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: RGP, 2008) h. 111
[11] Prof.Dr.H.M.Syuhudi, Hadits Nabi
menurut pembela pengingkar dan pemalsunya (Jakarta: GIP, 1995) h.49
[12] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran (Bandung:Mizan Pustaka, 2007) h.122
[13] Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama
Islam (Jakarta; Grafindo Media Pratama, 2008 ) h.61
Comments
Post a Comment