I.PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Methodisme datang ke Indonesia pertama kali pada tahun
1905 setelah para misionaris Amerika mulai bekerja di Malaysia dan Singapura. Gereja Methodis di Indonesia saat itu adalah satu-satunya gereja yang
tidak dimulai oleh para misionaris Belanda ataupun Jerman.
Di Indonesia, para misionaris Amerika mulai bekerja di
Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Pada tahun 1913, setelah datangnya Bishop J. Robinson, konferensi yang pertama pun diselenggarakan di Sumatera Utara.
Pada saat itu, Gereja Methodist dikenal sebagai gereja yang unik karena ini
adalah satu-satunya gereja Protestan yang anggota-anggotanya terdiri atas suku Batak dan suku Tionghoa Indonesia, sementara gereja-gereja Protestan lainnya
saat itu pada umumnya tersegregasi.
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah satu-satunya gereja di
Indonesia yang hadir bukan sebagai hasil pekabaran Injil misi Belanda dan
Jerman. Methodist adalah hasil pelayanan misionaris dari Amerika yang
bekerja di Malaysia dan Singapura. GMI juga satu-satunya gereja yang
keanggotaannya WNI dan asing.
Kebanyakan jemaat yang ada dimulai dari sekolah. Karena itu
sekarang banyak jemaat yang juga mengelola sekolah. Pekabaran Injil
melalui pendidikan umum dianggap cara terbaik sehingga jemaat cepat berkembang.
Inilah salah satu kekhasan lain dari Gereja Methodist di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Singkat GMI?
2. Bagaimana Struktur
Organisasi?
3. Apa Jabatan Gerejawi?
4. Bagaimana Majelis Jemaat?
5. Bagaimana Tata Ibadah?
6. Bagaimana Pelayanan GMI di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Sejarah Singkat GMI
2. Menguraikan Struktur Organisasi
3. Menjelaskan Jabatan Gerejawi
4. Menjelaskan tentang Majelis Jemaat
5. Menjelaskan Tata Ibadah
6. Menjelaskan Pelayanan GMI di
Indonesia
II.PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat GMI
Gereja ini merupakan hasil kegiatan pekabaran injil para
misionaris Dewan Pekabaran Injil dan Perluasan Gereja Methodist (Board of
Mission and Church Extension of the Methodist Church) dari Gereja Methodist
Episkopal di Amerika Serikat (Episcopal
Methodist Church). Pada tahun 1855 para misionaris itu mulai bekerja
di Singapura.[1] Itulah
sebabnya sejak perintisan (1905) lapangan pekabaran Injil Methodist berpencar secara luas di
beberapa pulau seperti Jawa, Kalimantan dan Sumatra yang terdapat banyak orang Tionghoa. [2]
Dewan ini memusatkan pekerjaannya di Palembang dan Medan.[3]
Pada tahun 1902, George F Pykett, pimpinan Distrik Penang dari Konferensi
Malaysia datang ke Medan untuk melihat dibukanya beberapa pos pekabaran injil. Hong
Teen, seorang Tionghoa yang pernah menjadi murid di Methodists
Anglo Chinese School di Penang adalah salah satu
yang ditemui Pykett.[4]
Pada tahun 1905,
Rev. John Russel Denyes mengganti kedudukan Pykett diutus menjadi misionaris
Methodist pertama ke Jawa. Pada tahun itu juga Solomon Pakianathan diutus menjadi perintis Methodist pertama di Medan. Tahun 1906, Rev. Charles Worthington
diutus menjadi misionaris Methodist pertama di Kalimantan Barat.
Sepuluh tahun pertama, lapangan
penginjilan Methodist sudah ada di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Bangka. Kota-kota besar
dijadikan sebagai pangkalan
seperti Jakarta, Bogor, Surabaya, Medan,
Palembang, Pontianak, dan lain-lain.
Salah satu strategi Misi
Methodist ialah mendirikan sekolah-sekolah Methodist di tempat Methodist bekerja. Dengan berdininya
sekolah seperti Methodist Boys’ School dan Methodist Girls’ School, pengetahuan (akal budi) ditingkatkan dan pekabaran Injil dikembangkan.
Terutama untuk orang-orang Tionghoa, kehadiran sekolah Methodist yang umumnya
berbahasa Inggris mendapat sambutan
yang positif, karena mereka dapat
menikmati pendidikan di
Indonesia setaraf dengan pendidikan
orang-orang Tionghoa di Malaysia dan Singapura. Ketika itu hubungan dagang orang-orang
Tionghoa di Indonesia, Singapura dan Malaysia
sangat lancar. Banyak anak-anak Tionghoa dan Indonesia belajar di
Singapura dan Penang. [5]
Akan tetapi, karena orang-orang Tionghoa di Indonesia
adalah pedagang-pedagang yang mobilitasnya tinggi, setelah berhasil mencari
uang, mereka cenderung kembali ke Tiongkok, walau banyak juga yang menetap di
Indonesia.
Pada tahun 1921, Misi Methodist mulai mengarahkan pekabaran
Injilnya ke kalangan orang Batak di Asahan, Sumatra Timur. Untuk mencegah
konflik antarbadan misi, waktu itu pemerintah kolonial Belanda membagi daerah
pekabaran Injil di Sumatra Utara. Badan Zending Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) bekerja di Tapanuli dan
Simalungun untuk menginjili orang Batak, sementara Gereja Methodist bekerja di
Sumatra Timur untuk menginjili orang-orang Tionghoa dan suku-suku yang ada di
sana.
Dengan masuknya Badan Misi Methodist yang menginjili
orang-orang Batak yang ada di Sumatra Timur, maka terjadilah perjumpaan antara
Zending Methodist dan Zending RMG. Sejak tahun 1920-an banyak orang Batak yang
pindah dari Tapanuli ke Sumatra Timur karena daya tarik kemajuan perkebunan dan
perdagangan di sana. Untuk mencegah ketegangan antara kedua Badan Zending, maka
pada tahun 1923 kedua delegasi Badan Zending mengadakan perundingan di Pematang
Siantar, yang menghasilkan suatu kesepakatan yang antara lain berbunyi:
1. Zending RMG tidak membuka jernaat di daerah yang oleh
pemerintah kolonial Belanda telah ditentukan sebagai daerah Zending Methodist
(Sumatra Tirnur), dan sebaliknya, Misi Methodist tidak membuka jemaat di daerah
RMG (Tapanuli dan Simalungun).
2. Kalau anggota Methodist pindah ke daerah RMG, maka
jemaat RMG harus menerimanya melalui surat pindah anggota, dan sebaliknya kalau
anggota RMG pindah ke daerah Methodist,
Zending Methodist harus menerima
melalui surat pindah
anggota.
Demikianlah sejak tahun
1920-an, antara RMG (HKBP) dan
Methodist telah terjalin suatu kerja sama yang baik bahkan mencetuskan semacam Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (seperti salah satu pernyataan dan ilma dokumen keesaan PGI yakni PSMSM yang sedang kita bicarakan sekarang).
Ternyata kemudian (paling tidak sejak
tahun 1920-an), pekabaran Injil
Methodist jauh lebih berkembang di kalangan Batak daripada di kalangan
Tionghoa. Sumatra Timur menjadi lapangan
pekabaran Injil Methodist yang paling
pesat sejak tahun 1920-an dibandingkan
dengan di Jawa dan Kalimantan.
Pada tahun 1928, Zending
Methodist menutup pekerjaannya di Jawa dan Kalimantan, dan memusatkannya di Sumatra. Keputusan
penutupan tersebut dipengaruhi dua
faktor. Pertama, perjumpaan Zending Methodist dengan Nederlandse Zendingsvereniging (NZV) di Jawa Barat tidak harmonis, sehingga
badan-badan zending Belanda
melalui konsulat zending di Jakarta menekan misi Methodist keluar dari Jawa.
Faktor lain ialah resesi ekonomi
yang melanda Amerika pada tahun
1920-an yang berpengaruh besar pada dukungan
dana di lapangan pekabaran Injil di Indonesia.
Kedua alasan itulah, ditambah dengan
realitas pesatnya perkembangan pekabaran Injil di Sumatra Timur dan realitas
lambatnya perkembangan di Jawa dan Kalimantan, maka Misi Methodist melakukan konsolidasi dan
reorganisasi. Gedung-gedung gereja,
gedung sekolah dan rumah sakit milik
Zending Methodist, sebagian diserahkan kepada Badan Zending lain di
Jawa dan Kalimantan dan sebagian
lain dijual. Anggota jemaat
Methodist beralih atau dialihkan
ke dalam asuhan Badan Zending
yang berasal dari Belanda. Sejak tahun 1928, pekerjaan Methodist terpusat di
Sumatra (Sumatra Utara dan Sumatra
Selatan) dan bekerja di kalangan
berbagai golongan etnis.
Tahun 1964, Gereja
Methodist Indonesia ditetapkan menjadii
gereja yang otonom. Artinya,
sejak saat itu GMI bukan lagi bagian
integral dan Gereja Methodist di
Amerika. Hubungan GMI dengan Gereja
Methodist Amerika adalah
hubungan partnership.
Sekarang GMI mempunyai anggota
kurang lebih 60.000 jiwa. Dua
per tiga adalah orang Batak dan sepertiganya lagi adalah orang Tionghoa. [6]
2. Struktur
Organisasi
Gereja Methodist Indonesia terdiri dari dua Konferensi Tahunan
(Annual Conference), yaitu:
a.Konferensi Tahunan wilayah I yang meliputi Sumatra Utara, Aceh dan Riau.
b.Konferensi Tahunan wilayah II yang meiputi Sumatra Selatan, Jambi, Lampung dan Jawa.
b.Konferensi Tahunan wilayah II yang meiputi Sumatra Selatan, Jambi, Lampung dan Jawa.
Kedua Konferensi Tahunan tersebut mengadakan sidang
setiap tahun untuk mengevaluasi dan merumuskan prioritas program tahunan. Dalam Konferensi Tahunan itu juga diadakan agenda-agenda seperti:
a. Menahbiskan pendeta
baru.
b. Melantik guru Injil
baru.
c.Penempatan pendeta/guru dan warga yang bekerja dalam
GMI.
GMI.
d. Menyelesaikan masalah-masalah jabatan kependetaan
yang timbul.
Kedua Konferensi Tahunan tersebut dipimpin
oleh seorang bishop yang sekarang ini berkedudukan di Medan sebagai Kantor Pusat
GMI.
Sekali dalam empat tahun GMI mengadakan
Konferensi Agung yang merupakan Konferensi
tertinggi dalam GMI. Konferensi Agung
tersebut dihadiri oleh utusan
pendeta dan warga gereja dan kedua wilayah
Konferensi Tahunan itu. Jumlah pendeta yang mengikuti Konferensi
Agung adalah 50% dan jumlah pendeta yang dipilih dalam Konferensi Tahunan
masing-masing. Jumlah warga gereja sama dengan jumlah pendeta. yang juga dipilih
oleh Konferensi Tahunan masing-masing. Tugas Konferensi Agung tersebut antara
lain adalah:
a.Menetapkan Garis-garis Besar Program Kerja Empat Tahun.
b.Menetapkan perubahan-perubahan Disiplin (Tata Gereja).
c.Memilih bishop.
Setiap wilayah Konferensi Tahunan dibagi menjadi beberapa
Distrik yang dipimpin oleh seorang Pimpinan Disirik. Pimpinan Distrik diangkat dan ditempatkan oleh bishop untuk
menjadi pemimpin (gembala) dalam setiap distrik. Setiap distrik terdiri dari
beberapa daerah Konferensi Resort, yang terdiri dari satu atau lebih jemaat
dalam pelayanan seorang pendeta atau guru Injil.
Sebagaimana diketahui, GMI menganut sistem pemerintahan episkopal. Artinya. gereja dipimpin oleh bishop-bishop. Dalam GMI, seperti juga halnya gereja-gereja lain yang mewarisi tradisi keepiskopalan, bishop memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. Dalam Disiplin GMI, tugas dan tanggung jawab seorang bishop dirinci sebagai berikut:
Sebagaimana diketahui, GMI menganut sistem pemerintahan episkopal. Artinya. gereja dipimpin oleh bishop-bishop. Dalam GMI, seperti juga halnya gereja-gereja lain yang mewarisi tradisi keepiskopalan, bishop memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. Dalam Disiplin GMI, tugas dan tanggung jawab seorang bishop dirinci sebagai berikut:
Ø Mengawasi secara umum hidup kerohanian dan materi GMI (to oversee the spiritual and temporal affodis of the Church).
Ø Memperhatikan masalah kehidupan rohani para pendeta dan guru Injil.
Ø Memelihara hubungan yang baik antara GMI dengan gereja-gereja tetangga
di dalam dan di luar negeri.
Ø Mengadakan kunjungan ke daerah-daerah sesuai dengan rencana yang
dlsusun bersama dengan para District Superintedent
(Pimpinan Distrik) yang bersangkutan dan kunjungan lain yang dianggap
perlu.
Ø Memimpin Konferensi Agung dan Konferensi Tahunan.
Ø Menguduskan bishop, menahbiskan pendeta, melantik guru Injil dan
memberikan sertifikat kepada mereka.
Ø Menentukan batas-batas Distrik dan Konferensi Resort dan melaporkannya
pada Konferensi Tahunan untuk disahkan.
Ø Menetapkan daerah misi.
Ø Mengangkat dan menempatkan para pemimpin distrik.
Ø Menempatkan pendeta, guru Injil dan pegawai lain yang bekerja dalam
GMI.
Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, bishop dibantu oleh departemen
dan badan-badan di tingkat pusat antara lain:
a. Departemen
Pendidikan.
b. Departemen PI dan
Pembinaan.
c. Departemen
Penatalayanan dan Diakoni.
d. Badan Pemelihara
Harta Benda.
e. Badan Pengkajian,
Perencanaan dan Pengembangan.
f. Dewan Pertimbangan
Agung.
g. Panitia Disiplin. [7]
3. Jabatan Gerejawi
GMI mempercayai bahwa jabatan dalam gereja bersumber dari
Yesus Kristus yang hakikatnya adalah pelayanan, sebagaimana terdapat dalam
Markus 10:45. GMI mengakui doktrin “imamat am orang percaya”, yang berarti setiap
orang yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah
imam. Ungkapan terkenal dari John Wesley yang masih diwarisi hingga Sekarang
berbunyi: “Setiap orang Methodist adalah Evangelis”. Artinya, kepada setiap
warga GMI diberikan tanggung jawab untuk menjadi penginjil secara pribadi.
Selain pemahaman umum di atas, GMI memiliki ketentuan khusus mengenai jabatan. Ada
beberapa jabatan yang dimiliki
GMI sesuai dengan tradisi Methodist secara
umum, yaitu:
a. Bishop
Telah disinggung di atas sedikit
mengenai tugas dan tanggung jawab
bishop. Dalam Gereja Methodist
di Amerika, bishop dipilih untuk
seumur hidup (for life). Penempatannya bisa berpindah-pindah dan suatu Konferensi Tahunan ke
Konferensi Tahunan lain, yang diatur oleh Badan Episkopal (sebuah
badan yang terdiri dan pendeta dan
warga gereja).
Sementara itu, di Indonesia (sama seperti
Singapura, Malaysia dan lain-lain),
jabatan seorang bishop memiliki
periode (for term); ia harus dipilih sekali untuk empat tahun. Kalau dia
tidak terpilih lagi, maka (secara formal) dia tidak disebut bishop lagi. Kalau masih aktif (belum
pensiun), maka sehabis masa jabatan sebagai bishop, dia
dapat ditempatkan sebagai bishop yang baru untuk melayani di jemaat atau pada unit
pelayanan lain. Seorang bishop hanya
bisa menjabat dua periode berturut-turut (1 periode untuk empat tahun). Setelah berhenti satu
periode dan umur masih memungkinkan,
seseorang dapat dipilih kembali.
b. Pimpinan
Distrik (District Superintendent)
Dalam GMI, jabatan
District Superintendent (DS) biasa
juga disebut Pimpinan Distrik atau
Praeses yang sering juga dikatakan sebagai bishop kecil. DS bertugas sebagai pembantu bishop di distriknya masing-masing. Sebagaimana dikatakan
di atas, DS diangkat dan ditempatkan langsung oleh bishop. Itu adalah
hak “prerogatif’ bishop. DS bertindak sebagai “konektor” antara Konferensi Tahunan dengan jemaat dan antara bishop dengan pendeta (pemimpin jemaat). Di
setiap wilayah Konferensi Tahunan terdapat satu kabinet yang terdiri dan
bishop (sebagai ketua) dan para DS
sebagai anggota. Forum kabinet inilah
yang merupakan badan tempat dikonsultasikannya
segala sesuatu mengenai GMI
secara rutin dalam satu wilayah Konferensi
Tahunan. Tugas rapat kabinet paling penting adalah memutuskan mutasi dan penempatan para pendeta dan guru Injil.
c. Pendeta
Pendeta dalam GMI melaksanakan tugas
untuk memberitakan firman Tuhan, melaksanakan sakramen Baptisan Kudus dan Perjamuan
Kudus. Di samping tugas tersebut,
pendeta juga melaksanakan tugas pemeliharaan
rohani atau penggembalaan. Seorang
pendeta Methodist terdaftar dalam Konferensi Tahunan dengan status “anggota penuh” (full membership). Artinya, pendeta tidak tergabung dalam satu jemaat
tertentu, tetapi dia adalah anggota Konferensi Tahunan. Yang tergabung
dalam satu jemaat hanya istri dan
anak-anak pendeta.
Sebelum seseorang diterima menjadi anggota Konferensi Tahunan, terlebih dahulu yang bersangkutan menjalani masa on-trial (percobaan, vikariat) paling sedikit selama 2 tahun bagi seorang Sarjana Teologi dan 4 tahun bagi yang bergelar Sarjana Muda Teologi. Selama masa on-trial tersebut pelayanannya akan dinilai oleh jemaat tempatnya melayani dan oleh Pimpinan Distriknya.
Setelah dilihat berhasil dalam pelayanan, Konferensi Resort tempat yang bersangkutan melayani mengusulkan pada sidang Konferensi Tahunan (melalui DS) agar yang bersangkutan ditahbiskan menjadi pendeta. Usul tersebut akan diproses oleh satu badan yang disebut Badan Pengurus Latihan dan Penetapan Jabatan (BPLPJ) atau Board of Ordained Ministers. Kalau semua persyaratan sudah terpenuhi, maka Badan mi mengusulkan pada sidang Konferensi Tahunan agar yang bersangkutan ditahbiskan. Dalam sidang para pendeta untuk menerima pendeta baru, bishop menanyakan kepada sidang apakah sidang para pendeta dapat menerima si calon ini untuk menjadi anggota penuh Konferensi Tahunan dan ditahbiskan menjadi pendeta. Jika semuanya menerima (tidak boleh ada yang keberatan), maka yang bersangkutan akan ditahbiskan dalam satu kebaktian penutupan Konferensi Tahunan tersebut.
Sebelum seseorang diterima menjadi anggota Konferensi Tahunan, terlebih dahulu yang bersangkutan menjalani masa on-trial (percobaan, vikariat) paling sedikit selama 2 tahun bagi seorang Sarjana Teologi dan 4 tahun bagi yang bergelar Sarjana Muda Teologi. Selama masa on-trial tersebut pelayanannya akan dinilai oleh jemaat tempatnya melayani dan oleh Pimpinan Distriknya.
Setelah dilihat berhasil dalam pelayanan, Konferensi Resort tempat yang bersangkutan melayani mengusulkan pada sidang Konferensi Tahunan (melalui DS) agar yang bersangkutan ditahbiskan menjadi pendeta. Usul tersebut akan diproses oleh satu badan yang disebut Badan Pengurus Latihan dan Penetapan Jabatan (BPLPJ) atau Board of Ordained Ministers. Kalau semua persyaratan sudah terpenuhi, maka Badan mi mengusulkan pada sidang Konferensi Tahunan agar yang bersangkutan ditahbiskan. Dalam sidang para pendeta untuk menerima pendeta baru, bishop menanyakan kepada sidang apakah sidang para pendeta dapat menerima si calon ini untuk menjadi anggota penuh Konferensi Tahunan dan ditahbiskan menjadi pendeta. Jika semuanya menerima (tidak boleh ada yang keberatan), maka yang bersangkutan akan ditahbiskan dalam satu kebaktian penutupan Konferensi Tahunan tersebut.
Mengenai penahbisan
wanita, GMI sudah sejak tahun 1950- an menerima kehadiran pendeta wanita. Sejak
zaman Zending (sebelum GMI otonom), sudah ada wanita menjadi Pimpinan Distrik dalam Gereja
Methodist di Indonesia, yaitu Pdt. Gusta Robinett. Tidak ada perbedaan antara pendeta wanita dan pendeta pria dalam pelaksanaan tugas-tugas kependetaannya. [8]
4. Majelis Jemaat
Di setiap jemaat GMI
dibentuk suatu badan (semacarn policy making body) yang dinamakan Majelis Jemaat.
Anggota Majelis Jemaat ini merupakan teman sekerja pendeta/guru Injil. Komposisi Majelis Jemaat terdiri dari
pendeta jemaat, guru Injil, lay-leader, ketua-ketua komisi, pemimpin
Sekolah Minggu. Lay-leader adalah
suatu jabatan dalam Majelis Jemaat yang boleh dikatakan sebagai wakil (informal) pendeta danlatau guru Injil yang melayani di suatu jemaat. Kalau dalam
suatu jemaat ternyata tidak ada pendeta atau guru Injil
yang ditetapkan bishop, maka
otomatis lay-leader ini merupakan
pelaksana harian tugas-tugas pemimpin
jemaat, kecuali melaksanakan sakramen.
Dalam GMI tidak
ada jabatan penatua. Yang ada adalah lay-
speaker (pengkhotbah awam).
Tugasnya adalah membantu pendeta dan guru Injil dalam melaksanakan
tugas pemberitaan firman dan
memimpin kebaktian. Dalam jemaat-jemaat GMI yang berlatar belakang suku
Batak, mereka inilah yang sering
disebut sintua (tidak
baku), walau istilah Itu tidak ada dalam buku Disiplin GMI. Jabatan ini setiap tahun ditinjau dan
diteliti dalam Sidang Konferensi Resort, apakah dapat diperpanjang atau tidak. [9]
5. Tata Ibadah
Tata ibadah di GMI berjalan secara fleksibel.
Artinya, tata ibadah di setiap jemaat tidak diharuskan serupa dan awal hingga akhir ibadah. Setiap jemaat dapat mengadakan kekhasan
ibadah dalam jemaatnya, asalkan
disepakati oleh jemaat atau Majelis
Jemaatnya. Memang secara umum GMI
mempunyai tiga bentuk tata ibadah yang
boleh dipilih oleh setlap jemaat. Fleksibilitas ibadah ini bertujuan
supaya suasana ibadah yang hidup dan segar dapat diciptakan di setiap ibadah
jemaat sehingga orang yang mengikuti ibadah dapat merasakan dinamika kebaktian tersebut.
Fleksibilitas tata ibadah
ini didasarkan atas
ajaran Methodist yang terdapat
di dalam 25 pokok-pokok kepercayaan
Methodist sedunia, yaitu:
Tidak begitu penting
supaya semua tata cara dan upacara kebaktian sama di semua
tempat atau sarna sekali serupa, karena tata cara dan upacara itu boleh berlainan dan dapat disesuaikan dengan keadaan negara. zaman, adat istiadat, asalkan
jangan bertentangan dengan Firman
Allah. Barang siapa dengan sengaja dan secara terbuka melanggar tata cara dan upacara gereja yang tidak bertentangan dengan Firman Allah dan telah disetujui dan ditetapkan oleh perhimpunan (jemaat),
haruslah ditegur secara terbuka. agar
pelanggaran itu jangan sampai melukai perasaan orang-orang yang
masih lemah imannya. Tiap-tiap gereja (jemaat) berhak menambah, mengurangi tata cara dan
upacara gereja asalkan tidak bertentangan dengan Firman Tuhan,
bahkan harus meneguhkan iman (lih.
Disiplin GMI, 1980, hIm. 16).
Dan kutipan di atas
jelas bahwa di satu pihak, GMI memiliki
prinsip fleksibilitas dalam tata ibadah, tetapi di pihak lain GMI menegaskan bahwa mengubah tata ibadah itu
tidak sembarangan dilakukan, tetapi
harus melalui persetujuan
jemaat. Harus diketahui bahwa dalam struktur kemajelisan jemaat ada satu komisi yang menangani masalah ibadah dan kebaktian yang disebut Komisi Kebaktian. [10]
6. Pelayanan
Daerah pelayanan Gereja Methodist Indonesia meliputi
hampir setengah wilayah Indonesia, dari Banda Aceh di bagian barat hingga Makassar di bagian timur.
Pelayanan
yang diberikan mencakup pelayanan jasmani maupun rohani dalam bentuk pelayanan
kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.
GMI
mempunyai sebuah rumah sakit Methodist (Rumah Sakit Methodist di Medan),
sejumlah klinik, dan sejumlah sekolah dari tingkat playgroup hingga universitas. GMI juga memiliki dua sekolah tinggi teologi, yaitu
untuk
- KONTA
Wilayah I : Sekolah
Tinggi Theologia - Gereja Methodist Indonesia
(STT-GMI) di Bandarbaru, Sumatera
Utara, dan
- KONTA
Wilayah II : Sekolah
Tinggi Theologia - Wesley (Institut Wesley Jakarta) di Jakarta.
Pada
tahun 2012 GMI mempunyai 276 gereja, 248 pos pelayanan, 157 pendeta yang
ditahbiskan, serta ratusan pelayan awam yang melayani 40.183 anggota penuh
serta 49.913 calon anggota. Sekitar 80% dari jemaat-jemaat GMI tinggal di
daerah-daerah pedesaan.
Anggota-anggota
GMI terdiri dari berbagai suku bangsa dan bahasa. Kebaktian-kebaktiannya
diselenggarakan dalam bahasa
Indonesia, Inggris, Mandarin, Batak, dan sejumlah bahasa setempat lainnya.[11]
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah satu-satunya gereja di
Indonesia yang hadir bukan sebagai hasil pekabaran Injil misi Belanda dan
Jerman. Methodist adalah hasil pelayanan misionaris dari Amerika yang
bekerja di Malaysia dan Singapura. GMI juga satu-satunya gereja yang
keanggotaannya WNI dan asing.
Gereja ini merupakan hasil kegiatan pekabaran injil para misionaris
Dewan Pekabaran Injil dan Perluasan Gereja Methodist (Board of Mission and
Church Extension of the Methodist Church) dari Gereja Methodist Episkopal di
Amerika Serikat (Episcopal Methodist
Church).
Di setiap jemaat GMI dibentuk suatu
badan (semacarn policy making body) yang dinamakan Majelis Jemaat. Anggota
Majelis Jemaat ini merupakan teman sekerja pendeta/guru Injil.
Daerah pelayanan Gereja
Methodist Indonesia meliputi hampir setengah wilayah Indonesia, dari Banda Aceh di
bagian barat hingga Makassar di bagian timur.
DAFTAR
PUSTAKA
Wellem
F. Djara, 2004, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta,
BPK
Daulay Richard M,
2003, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta, BPK
[1] Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta,BPK, 2004) Hal.142
[2] Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta, BPK, 2003) Hal.
4
[3] Wellem, Op.Cit, Hal. 142
[4] http://www.gmi-lampung.org/sejarah_singkat.asp di akses (Kamis, 13 Juni 2013:
01.00)
[5] Daulay, Op.Cit Hal. 4
[6] Ibid Hal 5-7
[7] Ibid Hal. 7-9
[8] Ibid. Hal 10-12
[9] Ibid
[10] Ibid hal. 13
Comments
Post a Comment