A. PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan
yang memiliki karakter dan nilai-nilai Kristiani yang didalamnya kiranya dapat
membantu kita untuk menjawab tantangan zaman sesuai dengan konteksnya.
Pendidikan Agama Kristen memiliki Teori-teori dalam pembelajarannya, akan
tetapi pembahasan kali ini penulis akan menerapkan tentang pemikiran tokoh
Horace Bushnell dan penerapannya dalam konteks masa kini.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
berasal dari kata dasar didik, yang berarti mengajar, membimbing, atau
menuntun. Istilah dasar pendidikan dalam bahasa Latin yaitu Educar yang artinya menggali keluar.
Dalam bahasa Yunani pedagogi yang
artinya membimbing, menentukan dan membawah anak didik ke arah yang lebih baik.[1]
2.
Pengertian
Pendidikan Agama Kristen
G. Homrighausen dan I.H. Enklaar dalam buku
mereka mengemukakan arti PAK adalah Menerima pendidikan, segala pelajar, muda
dan tua, memasuki persekutuan yang hidup dengan Tuhan sendiri, oleh dan dalam
Dia mereka terhisab pula pada persekutuan jemaat-Nya yang mengakui dan
mempermuliakan nama-Nya di segala waktu dan tempat.[2]
3.
Pengertian Teori
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) diberikan pengertian teori adalah: Pendapat
yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai peristiwa atau kejadian, Azas dan
hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan, dan
merupakan pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu.[3]
Secara etimologi kata teori berasal dari bahasa Yunani yaitu Theoreion yang berarti melihat,
mengamati, dan memandang.
4.
Teori PAK menurut Horace Bushnell
a.
Riwayat
Hidup
Horace Bushnell adalah
seorang teolog yang membawa pengaruh signifikan bagi Pendidikan Kristiani. Ia lahir pada tanggal 14 April 1802, sebagai anak sulung keluarga petani. Ketika usia Bushnell mencapai 20
tahun, ia pun melanjutkan pendidikannya ke Universitas Yale pada tahun 1823. Di
Universitas Yale Bushnell rajin menekuni studi, olahraga, dan musik. Sesudah tamat dari Yale pada tahun 1827, Bushnell mulai melayani sebagai seorang
guru, namun pelayanan tersebut tidak sesuai dengan minat Bushnell. Akhirnya setelah lima tahun menjadi
guru, Bushnell pun pindah ke kantor surat kabar New York Journal of Commerce. Pada tanggal 22 mei 1833, ia
ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North Church di Kota Hartford, negara bagian Connecticut.
Kebangunan rohani yang melanda Yale University
pada saat itu turut mempengaruhi pengalaman iman Bushnell. Pada masa munculnya
kebangunan rohani tersebut, Bushnell memutuskan untuk beralih dari bidang hukum
ke dalam jabatan pendeta. Ketika sudah menjadi pendeta Bushnell mengkritik cara
berkhotbah para pendeta pada masa kebangunan rohani. Menurut Bushnell cara
berkhotbah yang banyak dipertunjukkan pada masa itu. Bushnell melihat adanya
siasat untuk membuat jemaat memenuhi maksud dari penginjil. Pertentangan
tersebut didasari oleh pemahaman Bushnell bahwa iman akan bertumbuh secara
alamiah di dalam kehidupan, termasuk di dalam rumah tangga [4]
b.
Pendidikan
Agama Kristen menurut Bushnell
Pemikiran bushnell dalam teori pendidikan kristen nampak ketika
Amerika dalam masa dilanda arus revivalisme (kebangungan rohani). Pada saat itu
gereja dan orang tua cenderung mengabaikan pengajaran dan pertumbuhan dalam
Iman Kristen. Padahal tuntunan dalam pertumbuhan anak mampu membuat anak
mengenal berbagai hal di dunia. Pemahaman yang berkembang pada saat itu justru
menekankan mengenai kuasa Roh yang mengubahkan pemahaman iman orang-orang,
termasuk anak-anak secara radikal. Bushnell berpendapat bahwa, daripada
menunggu sampai orang bertobat pada usia dewasa, ada baiknya seorang anak
diasuh secara kristen sedini mungkin![5]
Bushnell melihat keluarga sebagai suatu kesatuan organic.
seperti batang pohon mengalirkan makanan ke dahan-dahan dan daun-daun, demikian
juga iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan orangtua Kristen mengalir ke
dalam hidup anak-anak. Hal ini berarti menonjolkan tanggung jawab orangtua
sebagai orang-orang yang seharusnya hidup sesuai dengan iman Kristen. Di dalam
keluargalah anak menerima PAK pertama kali, sehingga selanjutnya ia bertumbuh
melalui proses induksi alamiah dalam iman Kristen,[6] dan karena iman mereka
dipercepat dan ditumbuhkan dalam suasana Roh Allah sendiri, yang selalu
memenuhi keluarga. Asuhan Kristen harus mulai sedini mungkin dan harus menjadi
fondasi bagi seluruh usaha pendidikan yang berikutnya.[7]
Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Pertumbuhan anak ditentukan juga oleh didikan di sekitarnya. Orang tua menjadi
pendidik terdekat bagi anak. Akan tetapi orang tua juga bisa membawa pengaruh
kurang baik dalam pertumbuhan anak. Bushell dalam teorinya membahas mengenai
peran orang tua dalam pertumbuhan anak. Menurut Bushnell orang tua jangan
memaksakan harapan pada anak dalam masa pertumbuhan. Anak bertindak sesuai
dengan perasaan yang dialami saat itu juga. Hal tersebut akan menjadi masalah,
karena pada masa anak-anak manusia dapat ditanamkan berbagai nilai-nilai,
termasuk nilai kekristenan yang dipaksakan.
Harapan dan ajaran mengenai berbagai nilai hanya diberikan dari satu sudut
pandang. Pertumbuhan di dalam iman Kristen jangan dipandang hanya dalam satu
sisi. Sebagai pendidik, manusia tidak dapat memusatkan pemahaman nilai hanya
kepada dirinya saja. Gereja atau orang-orang yang memiliki kuasa atas
pendampingan dalam pertumbuhan harus mampu mewujudnyatakan nilai-nilai Kristiani.
Masa anak-anak diharapkan menjadi masa manusia melihat bentuk kebaikan, tidak
hanya definisi kebaikan.
Penekanan mengenai kemerdekaan anak jangan sampai disalahartikan
oleh orang tua. Pasalnya orang tua tetap harus menciptakan kondisi yang baik
untuk pertumbuhan anak. Orang tua di dalam proses pendidikan anak harus
menunjukkan nilai-nilai kasih di tengah keluarga. Perbuatan baik yang dilakukan
oleh anak tidak hanya berasal dari keputusan pribadi yang diambil oleh anak.
Pengalaman yang baik mengenai hidup dalam kasih dan dalam nilai-nilai Kristiani
yang membuat anak memahami pengalaman imannya.[8]
Nilai-nilai Kristiani yang harus ditanamkan menurut Bushnell harus dimulai
sejak usia dini. Manusia sejak usia dini harus ditanamkan mengenai cara hidup
di dalam iman Kristiani. Penanaman nilai-nilai Kristiani sejak dini dapat
dimulai dari kedua orang tuanya. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, maka
manusia tidak memerlukan perubahan iman yang radikal. Iman anak akan bertumbuh
secara bertahap melalui pengalaman hidup mereka sehari-hari. Hal tersebut juga
dapat didukung dengan kebebasan anak dalam melewati dan menentukan pilihannya
dalam perjalanan iman mereka.
Bushnell juga menekankan mengenai pengajaran akan perbuatan yang
baik dan benar. Ketika membicarakan mengenai perbuatan yang baik dan benar,
orang tua atau pendidik perlu membedakan antara perenungan mengenai apa itu
yang baik dan ketaatan yang dapat diperlihatkan atau dipraktikkan dalam
nilai-nilai kebaikan. Anak-anak jangan hanya diberi penekanan emosional
mengenai hal yang baik dan benar. Akan tetapi anak harus memahami dan mencintai
perbuatan baik melalui hal-hal yang konkret. Ketika hal tersebut tercapai maka
nilai-nilai kebaikan akan menjadi nilai yang vital dalam kehidupan anak-anak,
sebagai bagian dari perjalanan iman anak-anak.
Teologi Bushnell mengenai pengalaman pribadi turut menentukan pemahaman
Bushnell mengenai Pendidikan Kristiani. Menurut Bushnell proses pertumbuhan dan
pemahaman iman seseorang ditentukan oleh pengalaman pribadi. Pemahaman khas
akan sesuatu di dalam kehidupan sangat tergantung dari pengalaman seseorang.
Boehlke memberi ilustrasi seperti dua orang yang mencoba membandingkan rasa
manis sebuah duku, satu menganggap rasanya manis akan tetapi yang lain tidak. Seperti
itulah kira-kira bagaimana pengalaman pribadi menentukan pemahaman akan nilai
kebaikan dan iman.[9]
Bushnell yang menekankan pada Pendidikan Kristiani yang fokus pada anak
menjabarkan bahwa anak-anak adalah bagian dari organisme dalam keluarga.
Boehlke menjelaskan bahwa Pendidikan Kristiani di dalam keluarga adalah bagian
dari organisme yang belajar bersama. Belajar bersama akan membuat setiap bagian
dari keluarga, termasuk anak akan lebih dekat dengan prakarsa Allah. Mereka
akan memperkuat fondasi kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, bukan
saling mendominasi dan mengupayakan hidup yang mengutamakan kepentingan bersama
di atas kepentingan pribadi.[10]
C.
ANALISIS/KESIMPULAN
1.
Kelebihan
Bushnell sangat peduli dengan masalah-masalah sosial, ia tidak
hanya memikirkan jemaatnya sebagai warga gereja, tetapi juga sebagai warga
masyarakat. Selain Horace Bushnell merupakan tokoh sosialisasi model, ia pun
merupakan pionir teori PAK modern dan pembela ide sosialisasi PAK.[11] Dapat dikatakan teori
Bushnell adalah pengembangan diri. Harapan yang hendak dicapai melalui
pendekatan ini adalah iman akan bertumbuh menjadi iman yang tidak statis. Pola
asuhan yang hendak diterapkan oleh Bushnell bukan hanya sekedar penambahan
pengetahuan. Akan tetapi yang hendak ditekankan oleh Bushnell adalah teori dan
praktik dalam nilai Kekristenan. Karyanya dalam buku Christian Nurture sangat
menekankan peran keluarga dalam pendidikan Kristen. Ia menekankan peran aktif
keluarga untuk mendidik anak secara Kristen. Sehingga proses pendidikan yang
terjadi tidaklah instan, seperti ketika terjadi “pertobatan” rohani melalui
pengalaman yang hebat dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Oleh sebab itu,
pendidikan Kristen dalam keluarga merupakan penekanan utama dalam pemikiran
Horace Bushnell yang dituangkan dalam Christian Nurture.
Jika kita melihat penjabaran dari Bushnell, maka terlihat bahwa anak-anak
dalam perkembangan imannya harus tetap dalam pendampingan lingkungan sekitarnya.
Orang tua yang menjadi pendamping paling dekat bagi anak dalam petualangan
imannya. Orang tua harus mampu menyediakan ruang bagi anak untuk pertumbuhan
iman mereka. Kesadaran akan pentingnya pertumbuhan iman harus disadari betul
oleh orang tua. Karena iman anak tidak akan tumbuh dengan sendirinya.
2. Kekurangan
Penulis
setuju dengan pandangan Groome bahwa kita tidak dapat menyangkal kepentingan
sosialisasi Kristen dalam membentuk identitas manusia Kristen. Hanya melalui
identitas Kristen itulah iman Kristen dimungkinkan tumbuh. Dengan ini Groome
mengakui kepentingan sumbangan Bushnell. Akan tetapi ia menaruh keberatan,
karena Bushnell menempatkan edukasi hanya sebagai salah satu aspek dari
sosialisasi semata-mata. Padahal menurut Groome, hubungan dialektis persekutuan
Kristen dengan konteks sosial, dan hubungan dialektis persekutuan dengan
anggota-anggotanya harus diberi perhatian utama. Justru dalam teori-teori tadi,
hal itu kurang mendapat perhatian baik secara kualitas maupun kuantitas. Tanpa
hubungan dialektis itu tidak ada pendorong ke arah kedewasaan iman yang mampu
memberi jawaban dalam tugas panggilan Kerajaan Allah. Groome hendak mengatakan
bahwa hubungan dialektis itu harus secara sengaja diusahakan dan tidak boleh
dibiarkan berlangsung sendiri. Di sini berarti dituntut kesadaran dan kegiatan
kritis dari persekutuan.[12]
Jadi yang penting di sini bukan meningkatkan efektivitas sosialisasi, tetapi
justru edukasi yang harus diberi tempat utama, karena edukasi berperan sebagai
koreksi, kritik terhadap proses sosialisasi yang tidak dikehendaki. [13] Dengan
kata lain kita harus merespon terhadap pengaruh-pengaruh sosialisasi yang tidak
diinginkan.
Dapat
disimpulkan pandangan Groome bahwa proses edukasi yang kritis dialektis harus
merupakan usaha sengaja dan terencana, dan bagi PAK bukanlah masalah memilih
antara sosialisasi atau edukasi, akan tetapi PAK pada dasarnya memerlukan
kedua-duanya.
3. Relevansi pada masa kini
Sumbangsih bushnell yang menekankan peran
keluarga dalam pendidikan Kristen sangat berguna dalam konteks masa kini,
dimana keterlibatan peran aktif keluarga untuk mendidik anak secara Kristen
sangat penting dalam pembentukan iman anak. Selain Gereja dan Sekolah, ruang lain yang digunakan
sebagai proses pendidikan Kristen juga terletak pada lingkungan keluarga dimana
berperan penting dalam keluarga ialah orangtua Untuk itu, yang
menjadi pelaksana pendidikan agama kristen dalam keluarga ialah orangtua yang
berperan sebagai guru dan penginjil yang terus mengarahkan, membimbing, dan mendorong
anak untuk hidup dalam Allah (Ul.6:6-7).
Orangtua menjadi akar sekaligus saklar,
karena merekalah yang pertama kali memperkenalkan dan menyaring pendidikan pada
anaknya. Mendidik bagaimana cara berbicara, cara berjalan dan cara bersikap,
yang pada akhirnya berujung pada bicara baik dan pantas, berjalan lurus dan
bersikap yang baik. Tidak ada satu orangtua pun yang menginginkan anaknya
menjadi orang tidak baik. Pendidikan anak berawal dari keluarga. Ini menjadi
poin penting supaya masing-masing pihak, baik guru maupun orangtua mengerti
betul fungsi dan perannya dalam proses pendidikan anak. Jadi, karakter seorang
anak berangkat dari pendidikan di rumah. Bagaimana orangtua mengajar dan
mendidik anak akan tercermin di kemudian hari saat anak keluarga rumah dan
bersosialisasi di rumah keduanya, sekolah.[14]
Karena orangtua mengenal anak-anaknya dengan baik, maka orangtua tahu apa yang
menjadi kebutuhan mereka. Banyak diantaranya tidak akan pernah mereka peroleh
di sekolah. Itulah sebabnya orangtua harus menyadari bahwa merekalah yang
menjadi guru utama anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Boehlke, Robert.,
Sejarah
Perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama kristen Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007
Firdaus
Ahmad Zuhdi., Guru Idola Panduan Bagi
Guru, Yogyakarta: Gen-K Publisher, 2010
Groome,
Thomas., Chistian Religious Education Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015
Hadinoto N.K. Atmadja., Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Homrighausen , E.G. Enklaar , I.H, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta:
Gunung Mulia, 2008.
Nainggolan,
M., Guru Agama Kristen sebagai pangilan
dan profesi Bandung: BMI
KBBI,
1989 Penerbit Balai Pustaka Jakarta h.932
[1] M. Nainggolan, Guru
Agama Kristen sebagai pangilan dan profesi (Bandung: BMI) h. 79
[2] E.G. Homrighausen dan I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) h. 26
[3] KBBI, 1989
Penerbit Balai Pustaka Jakarta h.932
[4] Boehlke, Sejarah Perkembangan pikiran dan praktek
pendidikan agama kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hh. 439-433
[5] Hadinoto, Dialog dan Edukasi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012) h. 186
[6] Ibid
[7] Groome, Chistian Religious Education (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015) h. 172
[8] Boehlke., h. 467
[9] Ibid., 453
[10] Ibid., h. 485
[11] Hadinoto., h.
186
[12] Groome., h. 183
[13] Ibid., h. 187
[14] Ahmad Zuhdi
Firdaus, Guru Idola Panduan Bagi Guru, (Yogyakarta:
Gen-K Publisher, 2010), h. 12
Terima Kasih sangat membantu
ReplyDeleteterima kasih atas berbagi ilmunya, GBU :)
ReplyDelete