kateketika
“pengajaran yahudi dan gereja mula-mula
Dosen
: Priscila F. Rampengan, M.Th
Oleh
,
Kelompok I
|
SEKOLAH
TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI
(STAKN)
MANADO
2013II. PEMBAHASAN
A. Pengajaran
Yahudi
Pada awalnya Allah
telah menugaskan para orang tua Yahudi untuk memberikan pengetahuan tentang
“perbuatan-perbuatan-Nya
yang besar”. Mereka harus meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang telah
mereka dengar dari orang tua mereka, yaitu dengan cara lisan. Agar supaya
tradisi tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar” diteruskan dari generasi
ke generasi. [1]
Jadi,
Tuhan, Allah Israel yang telah memasuki kehidupan mereka dan menjadi umat Tuhan
ini sebagai alat-Nya, memberi keinsyafan melalui pendidikan dan pengajaran dari
generasi ke generasi.[2]
Pengajaran
Musa yang disampaikan Dalam ulangan 6 s/d 11 yang berisi perintah Tuhan yang
harus diketahui, ditaati dan dilaksanakan dengan penuh pengabdian, loyalitas
dan kesetiaan serta komitmen yang sungguh-sungguh, karena “Tuhan itu Allah
kita, Tuhan itu Esa”
Dengan
Pernyataan ini Musa hendak mengingatkan umat Israel bahwa tuntutan agar mereka
melaksanakan perintah Tuhan yang akan segera disampaikannya tidak dapat
dipisahkan bahkan bersumber dan dilandasi oleh kredo (pengakuan percaya) umat
Israel sendiri, bahwa Tuhan, Allah Israel telah memanggil dan menyatakan diri
kepada bapak leluhur mereka.
Mengabdi
merupakan tanda kehidupan umat yang merdeka dari Tuhan. Adanya kerelaan dan
hasrat umat Israel untuk mengabdi hanya kepada Tuhan saja, menyatakan
“lahirnya” umat Tuhan,[3]
yang harus diwujudkan dalam kesetiaan mereka adalah memperhatikan, mengajarkan
berulang-ulang dan membicarakan perintah Tuhan dari generasi ke generasi. Sebab
itu bagian pembukaan pengajaran Musa ini yang lebih dikenal dengan nama Syema (Dengarlah) dari kalimat pertama
yang berbunyi : Syema Yisre-el YHWH
elohenu, YHWH ehad, dikalangan orang Yahudi diucapkan sebagai suatu kredo
(pengakuan Iman) pada tiap ibadah.[4]
Perintah Tuhan yang disampaikan Musa adalah suatu tugas pendidikan yang
dinyatakan dalam kata shanan (mengasah, meruncingkan atau menajamkan). Yang
diterjemahkan oleh LAI dengan “mengajarkan berulang-ulang”. Tugas pendidikan
dan pengajaran yang diperintahkan Tuhan kepada umat Israel menjadi tugas
sebagai umat tanpa kecuali. Tiap-tiap generasi orang Israel menyampaikannya
kepada keturunan berikutnya. Dengan demikian segala sesuatu harus bekerja sama
untuk mendidik seluruh umat agar menjadi anggota persekutuan yang insaf akan
panggilan-Nya dan dengan segenap hati mengasihi Tuhan, dan segenap jiwa dan
dengan segenap kekuatan. [5]
Berdasarkan
pengalaman rohani serta keyakinan yang berkaitan dengan fakta bahwa Allah telah
memanggil Abraham dan ia menjawab melalui imannya, dan keturunannya dinamakan
bangsa yang terpilih dan kemudian Allah sendiri menyatakan diri-Nya serta
keyakinan tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan umat Israel mengembangkan
pendidikan agama dengan maksud dan tujuan, supaya angkatan muda maupun dewasa
terlibat dalam pengalaman belajar yang menolong mereka mengingat-ingat
perbuatan Allah yang ajaib dalam sejarah dan membimbing mereka untuk
mengahrapkan penyataan serupa mereka alami baik dalam kebaktian keluarga maupun
dalam persekutuan.[6]
Menurut
penemuan para ahli selama lima puluh tahun terakhir bahwa sekitar permulaan
Abad Pertama telah ada sekolah-sekolah agama yang didirikan oleh jemaat-jemaat
Yahudi, dimana anak-anak yang berusia 6-7 tahun, mendapat pengajaran
(bimbingan) dari guru-guru Torah. Maksud dari pengajaran (bimbingan) itu
bukanlah untuk memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, melainkan
pengetahuan Torah. Pengetahuan itu terdiri dari pembacaan dan penghafalan
nas-nas Torah secara harfiah. Sesuai dengan itu sekolah-dasar itu disebut beth-ha-sefer (rumah buku).
Pengajaran
(bimbingan) yang lebih tinggi diberikan dalam “Madrasall” yang disebut beth-ha-midrasy (rumah pengajaran).
Maksud pengajaran (bimbingan) disini ialah bukan saja untuk membaca dan
menghafal nas-nas Torah, melainkan juga untuk mengetahui arti dan maksudnya.
Pengajaran (bimbingan) dalam “rumah pengajaran” erat berhubungan dengan “rumah
ibadah” (sinagoge) Yahudi. Anak-anak biasa “duduk pada kaki” guru-guru Torah
dan menerima pengajaran (bimbingan) dari mereka dalam rahasia Torah. Pengajaran
(bimbingan) diatur menurut umur anak-anak, yaitu:
-
Pada umur 6-7 tahun mereka mulai dengan
pengajaran (bimbingan) elementer, yaitu belajar dan membaca nas-nas Torah.
-
Kira-kira pada umur 10 tahun mereka
mulai dengan pengajaran (bimbingan) yang sebenarnya.
-
Dan pada umur 12 atau 13 tahun mereka
diwajibkan untuk menurut (melaksanakan) seluruh syariat Yahudi (mis-woth). Pada taraf ini anak laki-laki
dianggap sebagai anak-anak syariat (bar-mitswa).
Namun, tidak semua anak
Yahudi mendapat kesempatan untuk memperoleh pengajaran (bimbingan) yang
demikian. Kebanyakan dari mereka dapat mengikuti pengajaran (bimbingan) dalam
pembacaan Torah di sinagoge-sinagoge, yang sesudah pembuangan ke Babel diadakan
tiap-tiap minggu. Sebenarnya,
sebagian besar dari sinagoge-sinagoge dimaksudkan sebagai “rumah pengajaran”
bagi semua orang Yahudi untuk pengajaran (bimbingan) mereka dalam pengetahuan
dan ajaran Torah. Dalam PB kita membaca bahwa “mengajar dalam sinagoge-sinagoge
adalah suatu kebiasaan pada hari Sabat”. Menurut Kisah Para Rasul 15:12, hukum
Musa (Torah) sejak zaman dahulu diberitakan di tiap-tiap kota, karena hukum itu
dibacakan pada tiap-tiap hari Sabat.[7]
Jemaat-jemaat Yahudi
(=sinagoge) adalah presupposisi dari pengajaran Torah Yakni bahan
pengajaran (=bimbingan) terdiri dari beberapa bagian[8];
1.
Pengakuan iman (Syema),
Nas
pengakuan iman terdiri dari Ul 6:4-9,11, 13-21 dan Bil 15:37-41
2.
Doa utama (= syemore Esre)
Harus
didoakan tiap-tiap orang Israel (yang tua dan yang muda ) tiga kali sehari. Doa
ini adalah suatu puji-pujian kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub dan suatu
permohonan untuk pemulihan Yerusalem dan Kerajaan Daud.
3.
Pembacaan Torah. (Neh 8:9)
4.
Pengajaran tentang arti dan
hariraya-hariraya Yahudi.
B. Gereja
mula-mula
a. Jemaat Perdana
Pada
permulaan periode ini katekese gerejawi masih sangat sederhana. Ia belum
mengandung semua unsur tradisional dengan lengkap, seperti yang kita kenal pada
waktu ini. Unsur credo umpamanya tidak lebih panjang daripada pengakuan, bahwa
“Yesus adalah Tuhan”. Kemudian, timbul
unsur-unsur lain, seperti “Ia telah datang di dalam daging”, Ia adalah Anak
Allah”, Ia telah mati, dikuburkan dan pada hari yang ketiga telah dibangkitkan
kembali”, Ia terangkat ke dalam kemuliaan”, Ia duduk di sebelah kanan Allah”,
“Ia akan menghakimi orang-orang yang hidup dan yang mati”.[9] Rupanya
rasul Paulus, mengawali pengajarannya mengenai Tuhan yang bangkit. Dikatakan
“ketika itu juga ia memberitakan Yesus di rumah-rumah ibadat, dan mengatakan
bahwa Yesus adalah Anak Allah” (Kis 9:20). Setelah kebangkitan Yesus Ia bukan
lagi rabi, melainkan Tuhan yang sudah bangkit.[10]
Yesus adalah Tuhan. Yesus yang pernah hidup sebagai rabi adalah sungguh-sungguh
Tuhan.
Pemahaman
baru ini sangat mewarnai dan mempengaruhi pandangan yang sedang berkembang
dalam pemikiran penulis-penulis Perjanjian Baru (tulisan yang paling tua dan
paling muda) terhadap pendidikan dan
pembinaan jemaat, yaitu surat yang dikirim kepada jemaat Tesalonika dan
Surat-surat Pengembalaan (1 dan 2 Timotius dan titus).[11]
Surat
kepada Jemaat di Tesalonika, yang merupakan kitab PB yang paling tua, segera
menunjukkan betapa seriusnya pandangan jemaat-jemaat PB terhadap penting dan
perlunya PAK atau pembinaan jemaat. Orang-orang Kristen tidak lahir secara
ajaib, iman Kristen bukanlah penemuan sendiri, melainkan pengalaman yang
terjadi dalam diri mereka dari pemberitaan (1Tes 2:14) dan pendidikan yang
sungguh-sungguh (1 Tes 2:11-12). [12]
Pelayanan
pendidikan sangat penting bagi orang-orang yang mendengar injil dan bertobat,
supaya mereka dapat bertumbuh di dalam iman mereka (1 Tes 4:1) dalam surat
Tesalonika menurut Boehlke, [13]
sekurang-kurangnya terdapat empat macam bahan pengajaran :
1) Ajaran Teologis
Mengajarkan bahwa Yesus adalah anak Allah, Ia Tuhan Yesus
Kristus, yang telah disalibkan dan dibangkitkan Allah. Dengan kematian Yesus
itu manusia diselamatkan dari murka yang akan datang. Dialah pelaksana
keselamatan bagi manusia. Oleh sebab itu siapa saja yang percaya kepada-Nya
akan dibangkitkan juga.
2) Pengajaran Etis
Mengajarkan tentang gaya hidup yang harus disesuaikan
dengan injil Kristus, gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Oleh sebab itu mereka
wajib menjauhkan diri dari dosa percabulan, beribadah kepada berhala, tidak
jujur, malas. Harus memelihara kekudusan perkawinan, kasih-mengasihi,
nasehat-menasehati, menegur yang hidupnya tidak tertib, menghibur yang tawar
hati dan membela yang lemah serta sabar kepada semua orang.
3) Tata Gereja
Mengajarkan untuk menghormati orang-orang yang memimpin
jemaat serta menyesuaikan diri dengan bimbingan pimpinan-pimpinannya.
4) Pengajaran yang menyerupai Ucapan Kudus
Menurut surat Tesalonika ada kata-kata yang diucapkan
Tuhan Yesus tetapi tidak dapat dicatat di dalam injil seperti 1 Tes 4:15.
Tetapi ada juga gagasan serupa, seperti : 1 Tes 5:2 dengan Mat 24-43; Tes 5:7-8
dengan Mrk 13:33-37; 1 Tes 5:7 dengan Luk 21:34, atau 1 Tes 5:5 dengan Luk
16:5b.
Surat-surat pengembalaan (I & II Timotius dan Titus)
yang ditulis kemudian dan termasuk kitab yang paling belakangan atau termudah
dalam PB, sangat mengutamakan pengajaran dan pendidikan orang-orang Kristen,
warga Kristen yang lama dan bukan yang baru percaya. Timotius sendiri merupakan
salah satu hasil PAK, yang didapat melalui keluarga dan jemaat (II Tim. 1:5,
3:15). Barangkali surat itu dimaksudkan untuk mendidik seorang pendeta atau
guru jemaat atau pelayanan disamping jemaatnya.[14]
Sehingga penekanan pengajaran terutama adalah supaya berpegang teguh pada
kebenaran pengajaran yang telah diterima dan diyakini (II Tim. 3:14).
Berbeda
dengan pemberitaan rasul-rasul pada tahun-tahun pertama setelah kebangkitan
Yesus yang sangat menekankan suatu hubungan yang sifatnya pribadi dengan Tuhan,
surat-surat Pengembalaan lebih mengutamakan pengajaran untuk bersandar pada
Kitab Suci, pengajaran yang benar.[15] Pengarang surat-surat Pengembalaan mempunyai
keyakinan bahwa dengan mengetahui Kitab Suci dan berpegang pada pengajaran yang
benar itu, maka keselamatan mereka diteguhkan. Jadi keselamatan lebih dikaitkan
dengan ajaran yang benar.[16]
Pokok-pokok
pendidikan dan pengajaran yang terdapat dalam surat-surat pengembalaan, antara
lain; (1) ajaran teologis, yang berkaitan dengan keesaan Allah dan esa pula Dia
yang menjadi pengantara antara Allah dan Manusia, yaitu Yesus Kristus, yang
telah mati dan bangkit kembali dari antara orang mati. Itulah injil, pengajaran
yang benar, (2) ajaran etis, dengan menyajikan daftar dosa dan daftar
kebajikan, (3) ajaran jabatan gerejawi, berupa jabatan-jabatan disertai
petunjuk atau syarat bagi yang diangkat dalam jabatan pemimpin jemaat, (4)
ajaran tentang perkataan Tuhan Yesus serta kutipan dari kitab suci Alkitab.[17]
Dengan jalan demikian lama-kelamaan timbullah
rumusan-rumusan pengakuan yang agak panjang dan lengkap. Salah satu di
antaranya ialah 1 Timotius 3:16.[18] Di
samping pengakuan-pengakuan iman bimbingan etis mengambil tempat yang penting
dalam katekese jemaat-jemaat purba.
Juga doa merupakan salah satu unsur penting dari ketekese
Jemaat-jemaat Purba. Hal itu antara lain nyata dari bentuk yang tetap dari doa
Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 dan Lukas 11:2-4. Mula-mula katekese
Jemaat-jemaat Purba ini rupanya sangat sederhana. Kadang-kadang hanya beberapa
jam saja. Dalam Kisah Para Rasul kita berulang-ulang membaca, bahwa baptisan
segera dilayani, sesudah pemberitaan Firman dari para rasul.
b. Pengajaran Sesudah Abad Pertama
Pada
akhir abad pertama, bahan-bahan katekese Gereja Purba makin bertambah banyak
dan waktu persiapan juga makin bertambah lama. Hal itu nyata dari salah satu
katekismus yang dipakai oleh jemaat-jemaat purba pada waktu itu, yaitu
“Didakhe” (ajaran kedua belas rasul). Katekismus ini berasal dari
lingkungan orang-orang Kristen-Yahudi dan ditulis sekitar tahun 100. Isinya
terdiri dari: kedua jalan (=hukum-hukum untuk hidup orang Kristen),
petunjuk-petunjuk liturgis untuk pelayanan Baptisan dan Perjamuan Malam
(diselingi oleh puasa dan doa Bapa Kami), peraturan-peraturan untuk hidup
Jemaat dan pejabat-pejabatnya, dan nasihat yang bersifat eskatologis (untuk
berjaga-jaga). [19]
“Didakhe”
dimaksudkan sebagai bahan pelajaran bagi orang dari luar yang ingin masuk ke
dalam gereja, yang menyerahkan diri kepada Kristus, dan menyatakan keinginan
untuk dibaptis. [20]
Gereja
pada abad ke-2 belum melembagakan sesuatu syarat secara resmi. Kaum awam turut memberikan kesaksian serta
mengajar orang-orang yang bertobat. Ada juga beberapa syarat pokok yang harus dipenuhi sebelum calon dapat
dibaptis.[21] Dalam abad ini katekese Gereja makin berkembang dan
memperoleh bentuk-bentuk yang tertentu sebagai katekumenat. Katekumenat Gereja
Purba terdiri dari dua bagian atau tingkat. Bagian atau tingkat pertama ialah:
bagian katekumin-katekumin sedangkan yang kedua ialah bagian atau tingkat
calon-calon baptisan. [22]
Kalau ada orang yang mau menjadi anggota Gereja, ia tidak
begitu saja diterima untuk dibaptis. Ia mula-mula harus menjadi “katekumin”.
Katekumin-katekumin mempunyai kedudukan yang khusus dalam Gereja.[23]
Gereja pada abad ke-3 semakin sadar
akan pentingnya pelayanan pedagogis. Kemudian dibentuknya persyaratan yang
lebih ketat yang harus dipenuhi sebelum diterima ke dalam persekutuan Kristen.[24] Sebelum seorang diterima menjadi katekumin, ia harus
memenuhi dahulu syarat-syarat yang tertentu.[25]
Karena itu siapa yang ingin mengikuti katekumenat, harus pergi dahulu kepada
uskup atau katekit untuk mencatatkan nama. Kepada mereka ditanyakan sebab-sebab
mereka mau menjadi anggota Gereja. Hidup mereka diselidiki dan kalau mereka
diterima mereka harus berjanji untuk hidup suci, menurut “kebenaran Kristen”.
Kalau mereka sedang menjalankan suatu pekerjaan atau jabatan yang tidak sesuai
dengan kesucian hidup Kristen, mereka diminta untuk menggantikan pekerjaan atau
jabatan itu dengan pekerjaan atau jabatan lain. Jika mereka tidak mau berbuat
demikian, mereka ditolak.
Sesudah
mereka diterima sebagai katekumin, mereka memperoleh hak-hak baru. Sebelumnya
sebagai “orang yang tidak percaya”, mereka hanya boleh menghadiri bagian
pendahuluan dari ibadah Jemaat dan mendengarkan khotbah. Sesudah itu mereka
sebagai “pendengar” harus meninggalkan ibadah. Tetapi sesudah menjadi
katekumin, mereka boleh tetap tinggal dan turut berlutut dalam pelayanan doa dan
penumpangan tangan. Ibadah yang sebenarnya tidak boleh mereka hadiri. Ibadah
itu hanya untuk orang-orang yang percaya (orang yang telah dibaptis). [26]
Sesudah
para calon itu diterima sebagai katekumin, dalam kebanyakan, jemaat mereka
diajar pada kebaktian pagi selama tiga tahun.[27]
Berhubung dengan bahaya murtad, waktu itu telah dipersingkat menjadi delapan
bulan.[28] Apabila
katekumen itu lulus, mereka dinamakan competens di Gereja Barat dan
photizomenai di Gereja Timur. Kepada mereka uskup membawakan beberapa ceramah
khusus setiap pagi selama empat puluh hari. Setiap competens diwajibkan
menghafal isi pengakuan iman. Pada hari sabtu sebelum permulaan minggu
sengsara, setiap competens diberikan kesempatan untuk seorang demi seorang
mengucapkan pengakuan iman di depan uskup.[29] Para
competens siap untuk dibaptis. Tetapi mereka harus menunggu satu minggu lagi,
yaitu sampai pertengahan malam minggu hari Paskah. [30]
Pengajaran
baptisan bukan hanya terdiri dari penjelasan tentang soal-soal iman saja. Ia
lebih daripada itu, ia juga mencakup doa, puasa, askese, pengakuan dosa,
penolakan dan pengusiran setan. Hal itu nyata dari dokumen-dokumen
tua yang ditulis pada waktu itu. Suatu contoh: dalam khotbah-baptisannya yang
pertama Cyrillus dari Yerusalem mengemukakan tuntutan-tuntutan yang berikut
kepada calon-calon baptisan:
“Siapkanlah hati kamu untuk menerima pengajaran dan
mengambil bagian dalam sakramen-sakramen (= misteri-misteri) yang suci!
Berdoalah selalu! Dan waspadalah, supaya kamu jangan menyimpang dari jalan yang
benar! Tanggalkanlah manusiamu yang lama dengan jalan mengaku dosamu! Sebab
sekaranglah waktunya utnuk mengaku dosa.”
Untuk mematahkan kuasa iblis, dalam
ibadah-ibadah Jemaat dilakukan pengusiran setan: uskup meletakkan tangan di
atas kepala calon-calon baptisan dan membuat tanda-salib di dahi mereka. Pada
ritus ini Cyrillus mengucapkan kata-kata yang berikut:
“Terimalah pengusiran setan dengan rajin! Semakin
sering kamu dihembusi, semakin baik untuk keselamatan kamu! Perhatikanlah emas
yang belum diolah dan dibersihkan! Emas itu bercampur dengan benda-benda lain:
dengan batu, timah, besi, dan lain-lain. Kalau kamu mau memperolah mas murni,
kamu harus menyucikannya dengan api dari benda-benda yang lain itu. Demikianlah
hendaknya jiwamu disucikan oleh pengusiran setan.”
Di Yerusalem pengajaran yang
sebenarnya mulai dengan pengakuan iman (=tradition symboli): pemimpin
mengucapkan kata-kata pengakuan-iman, yang sampai saat itu belum boleh
diketahui dan dipelajari oleh para katekumin, diikuti oleh suatu penjelasan.
Tigabelas dari khotbah-khotbah baptisan Cyrillus memuat penjelasan-penjelasan
yang demikian. Pada waktu yang telah ditentukan para calon-baptisan harus dapat
menghafal kata-kata dari pengkuan-iman, yang mereka wajib ucapkan pada waktu
mereka dibaptis. Untuk maksud itu disediakan daftar-daftar tanya-jawab.
Selain daripada pengakuan-iman, di
beberapa tempat diberitahukan juga kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan
ini disusul oleh pelayanan baptisan. Tetapi dengan itu pengajaran baptisan belum
selesai. Sakramen-sakramen harus dijelaskan dahulu. Di Gereja Timur hal itu
berlaku sebelum pelayanan baptisan.
Pengajaran katekumenat bukan hanya
diberikan oleh uskup-uskup saja, tetapi juga oleh presbiter-presbiter,
diaken-diaken dan anggota-anggota Jemaat yang lain. Pengajaran ni dianggap
begitu penting, sehingga di Gereja Timur didirikan sekolah –sekolah khusus
untuk pelayanan ini. Yang paling tua dan paling terkenal ialah sekolah katekit
di Alexandria (= pusat sending Yahudi pada waktu itu). Di tempat-tempat lain
ada juga sekolah semacam itu: d Kaisarea, di Antiokia, di Edessa dan di
Nisibis. Gereja Barat tidak mengenal sekolah katekit. Pendidikan katekit di
sana berada dalam tangan para uskup dan presbiter. Sering biara merupakan
pusat-pendidikan yang demikian..[31]
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengajaran Yahudi pada
awalnya merupakan warisan turun temurun dari tradisi lisan umat Yahudi mengenai
penyataan Allah, bangsa yang terpilih dan ajaran tentang manusia. Namun setelah
mereka mengalami pembuangan babel tradisi lisan mulai di bekukan dalam bentuk
tertulis yang perlu dihafal. tetapi tidak semua anak yahudi dapat menikmati
pengajaran ini, pengajaran atau bimbingan hanya di khususkan untuk anak-anak
laki-laki, kemungkinan anak-anak perempuan menerima pengajaran ketrampilan.
Bahan pengajarannya yang diterima di sinagoge (rumah pengajaran) meliputi :
pengakuan iman, doa utama, pembacaan Torah dan pengajaran tentang hari-rari
raya Yahudi. Yesus adalah buah dari pendidikan agama Yahudi, dalam gaya mengajar
Yesus nampaklah metode-metode yang Yesus Gunakan seperti: ceramah, bimbingan,
menghafalkan, perwujudan, dialog, studi kasus, perjumpaan dan perbuatan
simbolis. bentuk pelayanan mengajar Yesus diteruskan oleh jemaat-jemaat
Perjanjian Baru (rasul-rasul) hal ini nampak dalam surat Tesalonika yang berisi
empat macam pengajaran yakni: ajaran teologis, pengajaran etis, tata gereja dan
kata-kata yang menyerupai ucapan Yesus.
Pada
akhir abad pertama, bahan-bahan katekese Gereja Purba makin bertambah banyak
dan waktu persiapan juga makin bertambah lama. Hal itu nyata dari salah satu
katekismus yang dipakai oleh jemaat-jemaat purba pada waktu itu, yaitu
“Didakhe” (ajaran kedua belas rasul). Gereja pada abad ke-2
belum melembagakan sesuatu syarat secara resmi.
Kaum awam turut memberikan kesaksian serta mengajar orang-orang yang
bertobat. Gereja pada abad
ke-3 semakin sadar akan pentingnya pelayanan pedagogis. Kemudian dibentuknya
persyaratan yang lebih ketat yang harus dipenuhi sebelum diterima ke dalam
persekutuan Kristen. Di Yerusalem
pengajaran yang sebenarnya mulai dengan pengakuan iman (=tradition symboli):
pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan-iman, yang sampai saat itu belum boleh
diketahui dan dipelajari oleh para katekumin, diikuti oleh suatu penjelasan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abineno. J. L. Ch. 2006, Yesus
dari Nazaret. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2.
Abineno. J. L. Ch. 2012, Sekitar
Katekese Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
3.
Groome. T. H, 2011 Christian Religious Education
(Pendidikan Agama Kristen). Jakarta: BPK Gunung Mulia,
4.
Riemer. G. 2006, Ajarlah
Mereka Pedoman Ilmu Katekese. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF
5.
Stefanus. D. 2009, Sejarah PAK Tokoh-Tokoh Besar PAK.
Bandung: Bina Media Informasi.
6.
Iris
V, 1995, Dinamika Pendidikan Kristen, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
7. Barth, 1970, Teologi Perjanjian Lama I Jakarta: BPK Gunung Mulia.
8. Ismail, 1997, Selamat
Menabur, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
9. Boehlke, Sejarah
perkembangan pikiran dan praktek PAK, Jakarta; BPK, Gunung Mulia
10. Duyverman, 2000 Pembimbing
ke Dalam Perjanjian Baru. Jakarta: BPK
[1]
Abineno, Yesus Dari Nazaret Suatu Uraian
Historis Alkitabiah (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 2-4.
[2] Iris V, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta, BPK, 1995) Hal. 5
[3] Barth, Teologi
Perjanjian Lama I (Jakarta, BPK, 1970) Hal. 117
[4] Ismail, Selamat Menabur, (Jakarta, BPK, 1997) Hal.92
[5] Ibid
[6] Boehlke, Sejarah perkembangan pikiran dan praktek PAK (jakarta, BPK, 1991)
Hal.23-24)
[8]
Abineno, Sekitar katekese Gerejawi
Pedoman Guru, Jakarta: BPK, 2012) Hal 4
[9] Ibid Hal. 24
[10] Boehlke, Op.Cit, Hal.57
[11] Ibid
[12] Duyverman, Pembimbing ke Dalam Perjanjian Baru. (Jakarta, BPK, 2000) Hal.147
[13] Boehlke, Op.Cit. Hal. 73-75
[14] Ibid, Hal. 76
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid. 78
[18] Abineno, Op.Cit. Hal. 24
[19] Op.Cit, Abineno, Hal. 25
[20] Riemer, Ajarlah Mereka, (Jakarta, YKBK/OMF, 2006) hal. 47
[21] Daniel, Sejarah PAK ( Bandung, BMI, 2009)
Hal. 31
[22] Op.Cit, Abineno, Hal. 26
[23] Ibid
[24] Daniel, Op.Cit) Hal. 31
[25] Op.Cit, Abineno, Hal. 27
[26] Ibid, Hal. 28
[27] Daniel, Op.Cit Hal. 32
[28] Abineno, Op.Cit. Hal. 29
[29] Daniel, Op.Cit Hal. 32
[30] Ibid
[31] Abineno, Op.Cit, Hal. 29-33
Comments
Post a Comment